Kisah JAKA yang Rela Jadi Joki Karapan Sapi di Usia 8 Tahun demi Lanjutkan Sekolah
Mimpi Jaka untuk bisa sekolah di salah satu sekolah swasta favorit di kota kelahirannya akhirnya tercapai juga. Tidak sia-sia ia mempertahankan prestasi belajarnya sejak kelas satu kemarin.
Hasil UN (Ujian Nasional) yang cukup memuaskan dan membuat sekolahnya bangga itu telah mengantarkannya ke bangku sekolah favorit itu.
Meskipun hal itu pernah ditolak oleh Emak, perempuan yang telah membesarkannya sendirian di dunia ini semenjak kepergian Bapaknya menghadap Sang Pencipta ketika ia masih duduk di kelas IV SD dulu.
Menurut Emak keinginan Jaka terlalu muluk-muluk. Mimpinya terlalu mengawang hingga membuatnya lupa diri. Tidak sadar bagaimana kondisi ekonomi keluarganya.
“Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi, Cong . Mau sekolah saja kok milih-milih. Di kecamatan ini kan juga ada sekolah. Masa’ harus ke kota segala?”
Begitu kata Emak waktu Jaka mengutarakan keinginannya. Namun Jaka tetap berusaha meyakinkan Emak bahwa motivasinya untuk sekolah di sekolah favorit itu tidak lain adalah agar ia mendapatkan pendidikan yang layak.
Jaka akan belajar dengan serius dan akan bersaing dengan siswa-siswa lainnya. Mempertahankan prestasinya bahkan mungkin lebih bagus lagi dari prestasinya waktu SMP.
“Kata guru Jaka lingkungan sekolah juga ikut mendukung prestasi siswanya, Mak. Dan SMA Sumekar dikenal sebagai salah satu sekolah yang melahirkan siswa-siswa berprestasi. Alumninya banyak yang tembus ke beberapa perguruan tinggi negeri.”
“Kalau menurut Emak tergantung muridnya juga, Cong. Mau sekolah di mana saja kalau muridnya ndak mau belajar, ya tetap saja bodoh…” Emak kembali berargumen.
Dalam hati Jaka membenarkan kata-kata Emak. Tapi Jaka tahu kenapa Emak bersikukuh “melarang” ia masuk SMA Sumekar. Apa lagi kalau bukan masalah biaya.
Meskipun katanya sekarang ada sekolah gratis, tetap saja biaya buku, seragam dan segala tetek bengek atribut siswa untuk sekolah ditanggung sendiri. Bisa semakin menggunung utang Negara ini kalau semua biaya sekolah digratiskan.
“Tapeh pesse dari dimmah, Cong? Be’na enga’ se tak tao keadaan keluarga kita saja. Kamu bisa saja tetap ngotot mau sekolah di sana.
Tapi Emak tidak menjamin kamu akan sampai selesai. Bisa-bisa setahun sekolah kita sudah tidak mampu lagi membiayai sekolahmu se tak sakone’ itu.” Suara Emak terdengar datar.
Jaka merasa ada sesuatu yang menohok ulu hatinya. Kekhawatiran Emak masuk akal. Ia yakin Emak sebenarnya ingin ia sekolah di tempat yang sesuai dengan keinginannya.
Bahkan di tempat yang lebih elit sekali pun. Tapi keadaan ekonomi lah yang membuat Emak tampak pesimis menghadapi semua ini.
“Jaka akan ikut membantu Emak mencari uang, Mak. Yang penting Jaka bisa sekolah di SMA Sumekar.”
“Maksudnya kamu sambil mau kerja, gitu? Kerja apa? Emak kan hanya bisa berjualan gorengan di warung depan rumah yang pendapatannya hanya cukup untuk makan sehari-hari saja?”
“Jaka kan nanti punya banyak teman, Mak. Siapa tahu Jaka ada yang nawari bekerja. Ya kerja apa saja yang penting halal…”
Suasana kembali hening. Jaka hanya terpekur sementara Emak kembali dengan pekerjaannya membersihkan beras dalam nampan di depannya. Hari sudah sore. Emak mau memasak nasi untuk makan malam nanti.
***
Ini adalah hari pertama Jaka masuk sekolah SMA Sumekar. Rasa bangga dan bahagia memenuhi ruang hatinya. Di tempat ini ia akan menyulam mimpi-mimpinya dengan belajar dan belajar untuk mencapai cita-citanya yang terus berpijar dalam hatinya. Kelak jika Allah berkehendak ia akan serius menekuni bidang pertanian.
Menjadi Sarjana Pertanian adalah cita-citanya sejak ia duduk di kelas 3 SMP kemarin. Ia ingin membantu masyarakat di desanya dalam mengembangkan sawah dan pertanian.
Sangat sayang jika potensi sawah di kampungnya tidak digarap dengan baik dan profesional. Selama ini penduduk kampung hanya mengikuti arus musim yang terus berputar.
Musim tembakau petani berbondong-bondong menanam tembakau, musim tanam padi, mereka berlomba-lomba menanam padi, dan seterusnya. Padahal menurutnya masih banyak yang perlu dikembangkan dari tanah persawahan di kampungnya.
Ia tidak peduli meskipun setiap hari harus mengayuh sepeda ontel sejauh sepuluh kilo meter untuk sampai di sekolahnya.
Itu akan dijalaninya, meskipun ketika sampai di sekolah sekujur tubuhya basah oleh keringat yang membanjir. Seperti hari pertama ini.
Meskipun ia sudah berangkat pagi sekitar pukul setengah enam tetap saja ia merasa kecapean. Mungkin karena masih belum terbiasa.
“Kenalkan namaku Arman…” Seorang siswa menyalami Jaka begitu ia sampai di parkiran sepeda dekat kantin itu.
“Aku Jaka….”
“Kamu anak baru, ya? Aku kelas XII B. Kakak kelas kamu.” Siswa bernama Arman itu mengenalkan identitasnya.
“Wah, maaf Kak Arman. Saya pikir kamu juga anak baru.”
“Jangan panggil aku Kakak. Panggil nama saja biar lebih akrab. Sepertinya rumah kamu jauh, ya? Biasanya jarang siswa-siswa di sini yang datang pagi-pagi kecuali hari Senin. Rumah kamu di mana?”
“Rumahku di Lenteng. Kalau tidak ingin terlambat aku harus berangkat pagi-pagi.”
“Wah, hebat sekali. Aku salut dengan semangat kamu. Jarang-jarang anak sekarang yang mau mengayuh sepeda ontel sejauh itu. Apalagi jarak Lenteng-Sumenep lumayan jauh. Kok nggak ikut angkot saja?” Arman merasa kagum dengan Jaka.
“Biasa saja, Man. Aku sudah terbiasa, kok. Selain hemat ongkos, hitung-hitung sambil olah raga…” Jaka terkekeh.
Ia merasa senang hari ini. Hari pertama sudah punya kanca se berenca, sehingga membuatnya tidak canggung.
Jaka dan Arman kembali terlibat obrolan panjang. Jaka menceritakan motivasinya untuk sekolah di SMA ini. Arman semakin mengangguk-angguk kagum dengan semangat yang terpancar di wajah Jaka.
Lima belas menit kemudian bel berdentang. Semua siswa yang sudah berdatangan dengan rapi masuk ke kelasnya masing-masing.
“Aku ke kelas dulu, ya, Ka. Kamu juga sudah masuk tuh. Teman-temanmu sudah masuk kelas. Hari pertama biasanya perkenalan antara guru dan siswa-siswi baru. Kamu yang semangat, ya….” Arman menepuk pundak Jaka seraya berlalu dari hadapannya. Sementara Jaka juga menuju kelasnya.
“Selamat pagi, anak-anak. Selamat datang di SMA Sumekar. Saya harap kalian senang belajar di sekolah ini. Saya sebagai salah satu panitia Masa Orientasi Sekolah (MOS) tahun ini akan mengumumkan bahwa tiga hari ke depan acara kita adalah MOS, masa perkenalan antara kalian dengan sekolah tercinta ini.
Sebelum kalian belajar di sekolah ini, kalian harus kenal dulu dengan lingkungan sekolah, disiplin-disiplinnya dan lain-lain…” tampak seorang panitia dari kelas XII berkoar-koar di kelas Jaka.
Itu kan Arman? Jaka baru sadar bahwa panitia di depan itu adalah Arman. Berarti Arman salah seorang pengurus OSIS? Pikir Jaka. Wah, pasti dia banyak teman dan relasi di luar sekolah ini. Siapa tahu Arman bisa membantu masalah keuangan keluarganya.
Begitu istirahat pertama tepat pada pukul sembilan, Jaka langsung menghampiri Arman di ruang OSIS. Untung saja Arman lagi sendirian. Hanya beberapa siswa yang tampak sibuk di depan komputer.
“Arman, kamu panitia MOS, ya?” ditanya seperti itu Arman hanya senyam-senyum.
“Maaf, Ka. Tadi nggak sempet cerita kalo aku juga panitia MOS. Emang kenapa?”
“Ya nggak apa-apa sih? Kalo aku kenal dengan salah satu panitianya kan aku nggak perlu dipelonco kayak siswa yang lain?” Jaka terkekeh. Setahu dia acara MOS atau OSPEK kalau di perguruan tinggi itu tidak lepas dari acara perpeloncoan. MOS sering dijadikan ajang “balas dendam” oleh sebagian panitia yang dulu merasa dikerjain oleh kakak kelasnya.
“Wah, nggak tuh, Ka. Sekarang sudah bukan jamannya lagi. Itu tidak mendidik. Sejak kasus yang heboh di STPDN beberapa tahun lalu pihak sekolah tidak mengijinkan panitia bersikap kasar kepada siswa baru. Kalau ada panitia yang bandel bisa-bisa diskors oleh pihak sekolah. Sejak aku kelas satu sudah tidak ada lagi acara perpeloncoan.” Arman menjelaskan dan mencoba menghilangkan kekhawatiran Jaka.
“Syukurlah kalau begitu. Jadi aku aman-aman saja, nih?”
“Dijamin…”
***
Jam satu siang. Bel pertanda keluar sekolah berdentang. Ratusan siswa SMA Sumekar berhamburan keluar dari kompleks sekolah. Jaka kembali bertemu Arman di pintu gerbang sekolah.
“Aku duluan, ya, Ka.” Arman menstarter motor Supra-X-nya dan berlalu dari hadapan Jaka. Sementara Jaka juga menaiki tunggangannya dan mengayuhnya menyusuri jalanan kota Sumenep yang panasnya minta ampun itu.
Tapi Arman tetap dengan semangat mengayuh sepedanya. Lima belas menit semenjak keluar dari gerbang sekolah tiba-tiba ada yang berderak di bagian bawah sepedanya. Arman menghentikan sepedanya dan memeriksa sumber bunyi itu.
“Astaghfirullahal adzim….” Jaka menepuk jidatnya.
Tiba-tiba ia merasa lemas begitu melihat rantai sepedanya putus. Ia menoleh ke sekitar. Sepi. Sepertinya jauh dari bengkel. Sekarang ia baru sampai di desa Torbang, salah satu desa di Kecamatan Kota Sumenep. Masih tinggal sekitar tujuh kilo meter lagi untuk sampai ke rumahnya.
Dengan sabar Jaka menarik sepedanya dan memasukkan rantai sepedanya yang terberai itu ke dalam kantong plastik. Semoga ada bengkel buka. Jaka terus menarik sepedanya ketika sebuah mobil Kijang berhenti di dekatnya. Kaca mobil itu terbuka.
“Kenapa, Dik? Rantainya putus, ya?” sapa seseorang dari dalam mobil. Seorang bapak-bapak yang usianya sekitar empat puluhan.
“Iya, Pak. Di sekitar sini kira-kira ada bengkel buka, ya?”
“Kamu jalan sedikit, lima puluh meter lagi ada bengkel. Tepat di depan toko bangunan itu.”
Setelah berjalan sebentar Jaka sampai di bengkel yang dimaksud. Jaka menoleh lagi. Ternyata mobil itu juga menuju bengkel tempatnya berada. Sementara Jaka memeriksa tasnya. Dia kembali mendesah, ternyata ia tidak membawa uang sama sekali.
Ia tidak tahu kalau keadaannya akan seperti ini. Tampaknya seorang bapak di dalam mobil itu melihat Jaka yang tampak kebingungan mencari uang dalam tasnya. Padahal sepedanya sebentar lagi selesai dipasang rantainya. Jaka tidak menyadari kalau bapak itu sekarang ada di belakangnya.
“Ini buat ongkos servis sepeda kamu.” Jaka sedikit kaget. Ragu untuk mengambil uang dari orang yang baru dikenalnya itu.
“Nggak apa-apa. Diambil saja. Sisanya buat ongkos mobil saja besok biar tidak perlu naik sepeda.”
“Terima kasih, Pak. Sekali lagi terima kasih.” Jaka meraih uang dua puluh ribuan itu dari tangan “malaikat penolong” di depannya. Jaka tidak menyangka di jaman yang serba individualis ini masih ada orang sebaik bapak itu.
“Semoga Allah membalas kebaikan Bapak dengan imbalan yang lebih banyak…” Jaka untuk kesekian kalinya mengucapkan terima kasih. Dan tak lupa mengenalkan dirinya. “Nama saya Jaka, Pak!”
“Saya Pak Irwan. Oh, ya kalo ada waktu kamu bisa mampir ke rumah saya. Tuh, jarak dua rumah dari bengkel ini.”
“Insya Allah, Pak. Kalo ada waktu saya akan mampir ke rumah Bapak. Saya pamit pulang dulu…” Jaka akhirnya pamit dan mengayuh sepedanya yang sudah sehat walafiat itu. Jaka masih belum percaya dengan keajaiban yang dialaminya barusan.
Kalau begini, aku harus membawa uang kalau ke sekolah agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Kalau tidak ada bapak itu bagaimana nasibku tadi? Jaka masih berpikir sembari mengayuh pedal sepedanya dengan hati-hati. Takut rantainya lepas lagi.
***
“Apa yang Emak bilang, Cong? Itu salah satu alasan kenapa Emak keberatan kamu sekolah jauh-jauh. Kalau sekolah di Kecamatan kan lebih dekat dan kamu tidak akan capek-capek seperti ini.” Emak menasihati Jaka lagi begitu ia menceritakan kejadian tadi.
“Emak ndak perlu khawatir. Jaka baik-baik saja, kok. Ini ujian di hari pertama Jaka sekolah. Kalau Jaka sabar menghadapi masalah ini insya Allah ke depan akan dipermudah urusannya.” Jaka kembali beralasan. Itu biar Emak tidak perlu banyak-banyak mengeluarkan fatwanya lagi.
Ia harus buru-buru mandi dan siap-siap shalat ashar. Setelah ashar ia sudah berjanji kepada Emak untuk ke pasar membeli bahan-bahan gorengan untuk dijual besok.
Jaka melihat persediaan pisang, ubi jalar dan bahan-bahan lainnya untuk dagangan besok sudah menipis. Hanya pekerjaan itu yang bisa ia lakukan untuk meringankan beban Emak. Jadi Emak tidak perlu capek-capek lagi ke pasar.
Sejak kecil ia sudah biasa membeli barang-barang dapur seperti bawang merah-bawang putih, kacang panjang bahkan ikan-ikan untuk menu makannya dengan Emak. Ia tidak merasa gengsi dan malu karena membantu Emak. Tidak seperti sebagian teman-teman tetangganya yang merasa malu ketika diminta bantuan orangtuanya untuk pergi ke pasar.
Setelah shalat ashar selesai Jaka langsung pergi ke pasar Lenteng untuk membeli segala kebutuhan dagangan Emak.
“Ja’ kalopae melle tapai, Cong. Emak akan bikin goreng tapai karena ada pelanggan yang mesen. Katanya bosan kalo korket atau goreng pisang terus.”
“Beres, Mak…” Jaka langsung menaiki sepeda ontelnya menuju pasar Lenteng yang tidak begitu jauh dari rumahnya itu.
Sampai di pasar Jaka langsung menuju toko langganan Emak.
“Emakmu kemana, Ka? Kok kamu yang belanja?” Bi Sum pemilik toko itu bertanya.
“Emak sibuk, Bi. Beres-beres rumah dan ngombi’ sabreng untuk dibikin kalepon .”
“Wah, emakmu memang pandai bikin macam-macam jajan dan gorengan, Ka. Makanya banyak pelanggannya.”
“Alhamdulillah, Bi. Doakan semunya lancar.”
“Semuanya tiga puluh lima ribu, Ka.”
Jaka mengambil uang dari saku celana dan menyerahkannya kepada Bi Sum.
“Kalangkong, Bi!” Jaka segera menuju sepedanya yang diparkir di depan toko itu. Ketika sebuah suara menyapanya.
“Jaka, kamu belanja apa?”
Jaka hampir tidak percaya melihat siapa yang ada di hadapannya. “Malaikat penolong” itu? Bapak yang telah menolongnya kemarin itu ada di depannya.
“Hm…, lagi belanja, Pak…” jawab Jaka agak sedikit gugup. “Bapak sendiri dari mana?”
“Saya dari rumah Pak Markum, pemilik sapi karapan di desa Lenteng ini. Saya lagi cari seorang Joki untuk Festival Karapan Sapi bulan depan. Joki yang biasa “megang” sapi Bapak pulang ke rumah kakeknya di Surabaya. Jadi saya harus cari Joki baru.”
“Jangan lupa kapan-kapan mampir ke rumah Bapak, ya?”
“Insya Allah, Pak.” Jaka menyalami bapak itu sebelum akhirnya Jaka pamit pulang duluan. Sementara Pak Irwan menuju sebuah toko yang tidak jauh dari tempat Jaka belanja.
***
Jadi Bapak Irwan itu juragan karapan sapi? Waktu kecil Jaka pernah diajak almarhum Bapak nonton pertunjukan karapan sapi di GOR Ahmad Yani. Kata bapak karapan sapi adalah kesenian dan tradisi masyarakat Madura yang tetap dilestarikan oleh masyarakat Madura sampai sekarang. Bapak juga pernah bercerita kalau juragan karapan sapi itu rata-rata kaya-kaya oleh hasil penjualan sapi karapan yang mereka miliki. Satu ekor sapi harganya ada yang mencapai puluhan juta rupiah. Itu kalau sapi milik mereka menang di event-event pertandingan karapan sapi. Baik yang di tingkat Kabupaten bahkan pertandingan yang memperebutkan Piala Presiden misalnya.
Jaka semakin penasaran dan ingin bertandang ke rumah Bapak Irwan. Ia ingin tahu banyak tentang tradisi masyarakat Madura itu. Siapa tahu ia diajak untuk menjadi salah seorang Joki Pak Irwan?
Jadi Joki? Jaka tiba-tiba terhenyak dengan pikirannya sendiri. Bagaimana bisa? Wong ia tidak punya ilmu apa-apa tentang tata cara mengendalikan sapi karapan. Tapi kalau dicoba apa tidak bisa? Bukankah Joki-Joki itu juga dilatih sebelum berlaga dalam pertandingan?
Jaka kembali sibuk dengan pikiran dan ide barunya itu. Jika benar aku jadi Joki karapan sapi, maka beban Emak untuk membiayai sekolahnya tidak begitu berat. Siapa tahu bayaran seorang Joki itu lumayan mahal?
Sepulang sekolah Jaka langsung menuju rumah Pak Irwan. Ia benar-benar tekejut begitu ia memasuki halaman rumah Pak Irwan. Rumahnya dua lantai dengan halaman yang cukup luas. Sekitar lima puluh meter dari rumahnya ada sebidang tanah yang disulap jadi kandang sapi yang tampak bersih. Berbeda dengan kandang-kandang sapi tetangganya yang tampak kumuh dan jorok. Benar-benar sapi-sapi karapan itu dirawat dengan baik.
“Akhirnya kamu sampai juga ke rumah saya, Jaka?” Pak Irwan menyilakan Jaka masuk.
“Iya, Pak. kebetulan saya nanti sore tidak ada acara. Jadi saya sudah ijin kepada Emak untuk main ke rumah sampeyan….”
“Saya belum cerita ke kamu kalo saya salah seorang pemilik sapi karapan di desa ini.
Sejak kecil saya memang menyukai karapan sapi. Saya merasa senang dengan kesenian ini. Saya pernah punya cita-cita untuk memiliki sapi karapan. Dan alhamdulillah sampai sekarang masih tetap suka dan sapi yang saya punya rata-rata jadi pemenang di setiap pertandingan.” Pak Irwan bercerita panjang lebar tentang kegemarannya dengan karapan sapi. Jaka semakin kagum dengan kegigihan Pak Irwan merawat sapi-sapi miliknya.
“Ya, begitulah, Jaka. Untuk merawat sapi-sapi itu biayanya tidak sedikit. Selain biaya yang mahal juga diperlukan ketelatenan dalam mengurusnya. Dan satu hal lagi, menangnya sapi-sapi saya itu tidak lepas dari peran sang Joki, orang yang mengendalikan sapi karapan disaat pertandingan. Makanya saya sangat menyayangkan Joki saya pulang ke Surabaya. Katanya dia pindah sekolah di sana.
Jadi total berhenti jadi Joki. Untung saat-saat ini tidak ada pertandingan. Tapi kemarin saya dapat undangan kalau bulan depan ada event tahunan yaitu Festival Karapan Sapi se-Madura yang memperebutkan piala Presiden. Sangat disayangkan kalau sapi-sapi saya kalah dalam event tersebut.”
Jaka merasa semakin besar kesempatannya untuk menjadi Joki. Berarti Pak Irwan benar-benar butuh seorang Joki yang andal? Jaka tersenyum dalam hati.
“Kalau boleh saya ingin melamar menjadi Joki, Pak. Saya ingin membantu meringankan beban Emak dalam membiayai sekolah saya. Saya akan belajar untuk menjadi seorang Joki…” Tiba-tiba kata-kata itu terlontar dari mulut Jaka.
“Kamu serius, Ka? Wah, kebetulan sekali. Masalah latihan gampang. Kalau kamu memang bersedia jadi Joki, mulai Minggu depan kita sudah bisa latihan. Saya akan undang pelatih andal untuk melatih kamu. Tapi bagaimana dengan Emakmu? Apa kira-kira mengijinkan kalau kamu jadi Joki?”
Untuk beberapa detik Jaka terdiam. Ia sebenarnya tidak yakin kalau Emak akan mengijinkan dirinya menjadi Joki. Jaka tahu betul bagaimana kekhawatiran Emak. Dia pernah jatuh dari pohon jambu air saja Emak gipo -nya bukan main. Apalagi kalau sampai jatuh dari kaleles sapi karapan?
“Insya Allah Emak mengijinkan, Pak.” Jaka mencoba meyakinkan hatinya, juga Pak Irwan. Pak Irwan merasa senang dengan semangat yang terpancar di wajah Jaka.
***
Jaka dan Emak baru saja selesai makan malam. Setelah membereskan piring dan perabotan lainnya Jaka langsung menuju ruang istirahat Emak, di atas lencak di ruang tamu itu. Tempat itu selalu menjadi tempat istirahat Emak setelah seharian capek dengan dagangannya di warung.
Jaka langsung duduk di sisi lencak dan memijati betis dan kaki Emak. Pasti Emak capek, pikir Jaka.
“Ada apa, Cong? Ada sumbangan lagi di sekolah?” Emak ternyata hafal betul bagaimana Jaka jika ingin minta uang. Sejak kecil Jaka selalu memijati Emak jika ada maunya. Jaka hanya tersenyum mendengar ucapan Emak.
“Begini, Mak. Jaka ingin membantu Emak dalam membiayai kebutuhan sekolah Jaka.” Jaka tidak langsung to the point. Ia tidak mau Emak tiba-tiba shok mendengar kabar yang mungkin akan membuat Emak jantungan itu.
“Dari dulu be’na bilang gitu. Kamu tidak perlu bekerja. Emak masih bisa dan mampu bekerja walaupun pendapatannya tidak seberapa itu.” Ucap Emak sambil memejamkan matanya disaat Jaka memijati kakinya. Perlahan-lahan rasa pegal di kakinya berangsur-angsur hilang.
“Kaule olle kalakoan , Mak…” hati-hati Jaka kembali bicara.
“Jaka…Jaka… anak kecil seperti kamu mau kerja apa? Mau jadi kuli panggul di pasar Lenteng atau Pasar Anom ? Kapan belajarnya? Katanya mau belajar dengan rajin?” Emak menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar kata-kata anak semata wayangnya.
“Jaka mau jadi tokang tongko’ Karapan Sapi, Mak….”
“Apa?!” Emak menegakkan punggungnya. Tampak sekali ada gurat-gurat keterkejutan di wajah wanita setengah baya itu. Jaka sudah menduga Emak akan shok mendengar rencananya itu.
“Emak tidak setuju. Pokoknya Emak tidak setuju kamu jadi tokang tongko’. Resikonya sangat besar, Cong. Emak nggak mau terjadi apa-apa sama kamu…”
“Jaka benar-benar ingin bantu Emak. Dan hanya ini yang bisa Jaka lakukan. Kebetulan ada tawaran pak Irwan, jadi Jaka pikir tidak ada salahnya kalau Jaka mencoba. Jaka akan dilatih oleh seorang pelatih yang berpengalaman, Mak. Emak tidak perlu khawatir. Jaka akan baik-baik saja, insya Allah.”
Suasana kembali hening. Emak hanya terdiam. Memikirkan rencana anaknya itu. Jaka adalah sosok yang sama dengan mendiang suaminya, penyuka kesenian karapan sapi. Dan satu lagi yang tidak beda sama sekali antara Jaka dan almarhum suaminya; mereka sama-sama keras kepala. Mereka akan tetap dengan pendiriannya. Tidak akan bisa tenang jika keinginannya tidak terpenuhi.
Wajah wanita itu tampak sendu. Jaka semakin merasa terharu melihat ibu yang telah membesarkannya sendirian itu bersedih di depannya.
“Emak ijinkan kamu jadi tokang tongko’, Cong. Tapi ingat kamu kodu te-ngate . Emak hanya bisa mendoakan kamu.” Mendengar kalimat terakhir Emak Jaka langsung menghambur memeluk erat wanita itu. Tanpa terasa air mata Jaka meleleh, ada keharuan menyeruak di dalam hatinya.
***
Sejak hari Minggu kemarin Jaka sudah mulai latihan. Pak Irwan memuji kelihaian Jaka dalam mengendalikan sapi karapan miliknya. Tidak sia-sia ia membayar mahal pelatih untuk melatih Jaka menjadi Joki andal. Pak Irwan yakin Jaka sanggup mengendalikan sapi-sapinya dalam event bergengsi itu. Ia berjanji akan membayarnya dengan bayaran mahal jika sanggup mengalahkan Joki-Joki lainnya dalam pertandingan nanti.
“Saya yakin kamu bisa, Ka.” Pak Irwan menepuk pundak Jaka bangga. Jaka tersipu dengan pujian yang menurutnya sangat berlebihan itu.
“Saya janji tidak akan mengecewakan Bapak…” Janji Jaka sambil berdoa akan keselamatannya nanti dalam pertandingan. Jaka tahu, seperti yang dikatakan Emak, menjadi Joki itu penuh resiko. Jika lengah sedikit maka tidak menutup kemungkinan sang Joki akan terpelanting ketika dua ekor sapi karapan itu melesat dari garis start menuju finish.
Di sekolah kabar perihal Jaka menjadi Joki karapan sapi juga tersebar. Beberapa siswa ada yang mendukung pekerjaan baru Jaka. Mereka bahkan mendoakan keselamatan Jaka dan berharap Jaka menjadi juara. Jaka tidak tahu siapa yang menyebarkan kabar itu di sekolah. Padahal ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang profesi barunya itu. Begitu juga kepada Arman, teman akrab Jaka semenjak acara MOS itu.
“Aku juga ikut mendoakan kamu, Ka. Semoga kamu berhasil dan obsesi kamu untuk membantu Emakmu tercapai.” Jaka lagi-lagi dibuat terkejut dengan kata-kata Arman. Darimana Arman tahu bahwa motivasinya menjadi Joki itu dalam rangka membantu Emaknya?
“Kamu tahu darimana, Man?”
“Aku kemarin ke rumah Paman Irwan. Disuruh Ibu mengantar uang arisan ke Bi Maryam, istri Paman Irwan. Beliau cerita kalau ada siswa SMA Sumekar yang jadi salah seorang Joki-nya. Eh, ternyata orang itu adalah kamu…”
“Begitulah, Man. Doain, ya!”
***
Detik-detik pertandingan yang ditunggu-tunggu masyarakat Madura itu kini tiba. Event tahunan yang memperebutkan Piala Presiden tahun ini diselenggarakan di Stadion Sunarto Hadi Wijoyo, Kabupaten Pamekasan. Ribuan orang telah memenuhi stadion. Semua tiket terjual habis. Ternyata apresiasi masyarakat Madura terhadap kesenian yang satu ini masih sangat besar. Jaka bangga terlibat dalam event ini. Seandainya Bapak masih ada tentu beliau bangga melihatnya bertanding di event bergengsi ini.
Alunan musik saronen mengalun mengiringi acara pembukaan Festival Karapan Sapi Piala Presiden. Orang-orang tampak larut dengan musik yang mengalun indah itu. Jaka benar-benar seperti Joki andal yang sudah berpengalaman. Duduk berjejer bersama ratusan Joki yang datang dari empat Kabupaten di Madura. Padahal ini adalah pengalaman pertamanya mengikuti pertandingan. Bukan hanya se-Kabupaten tapi se-Madura. Artinya semua pemilik sapi karapan yang berada di pulau garam ini mengikutsertakan sapi-sapi karapan mereka. Joki-Jokinya tentu sudah jauh lebih berpengalaman ketimbang dirinya.
Kini giliran Jaka untuk bertanding. Sekali main ada empat pasang sapi karapan yang dilombakan. Jaka sudah siap di atas kaleles. Di tangannya sudah ada alat cacak yang dipenuhi jeruji paku-paku tajam yang siap menyayat-nyayat pantat sapi. Tokang tambeng dan tokang gettak sudah siap di sisi kanan dan sisi kiri sapi. Jaka sekilas melihat lawan mainnya di samping kanan dan kirinya. Dari wajah-wajah mereka tampak ada semangat untuk memenangkan pertandingan ini. Ia yakin mereka jauh lebih berpengalaman dari dirinya. Tapi ia tidak boleh minder, bagaimana pun ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan pertandingan.
Suara letusan pertanda pertandingan dimulai terdengar. Jaka mulai mencakar pantat sapi itu dengan alat di genggamannya. Sorak sorai para penonton pun menggema, memenuhi stadion Sunarto Hadi Wijoyo yang penuh sesak oleh ribuan penonton itu. Empat pasang sapi termasuk sapi dalam kendali Jaka itu melesat seperti kesetanan. Rasa perih yang ditimbulkan dari alat cacak di genggaman para Joki itu telah membuat sapi-sapi berpacu dengan cepat. Melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Sepasang sapi yang dikendalikan Jaka berada di urutan paling depan dan pertama kali menyentuh garis finish. Suara teriakan penonton di atas tribun itu kembali menggema. Konon ada yang biasa taruhan dalam pertandingan ini. Mereka memanfaatkan event-event pertandingan karapan sapi untuk meraup uang jutaan rupiah dengan cara taruhan antar penonton.
Jaka turun dari atas kaleles disambut oleh pujian dan sanjungan dari para pendukung sapi karapan milik Pak Irwan. Jaka diberi minuman berenergi agar dalam pertandingan nanti kembali mengendalikan sapi dengan baik.
Setelah melalui babak penyisihan dan semi final akhirnya Jaka berhasil membawa sapi milik pak Irwan ke babak final. Pak Irwan tidak bisa menyembunyikan kebanggannya terhadap keberhasilan Jaka dalam pertandingan ini. Tinggal selangkah lagi sapi milik Pak Irwan akan menyandang predikat juara dalam event ini. Penawaran-penawaran mahal untuk sapinya tentu akan semakin banyak. Biasanya banyak juragan karapan sapi yang mengincar sapi-sapi yang menang dalam pertandingan bergengsi ini dan bersedia membelinya dengan harga yang sangat tinggi.
Jaka kembali naik ke atas kaleles. Di babak final ini ia harus bisa mengalahkan lawan yang tidak bisa dianggap remeh itu. Jaka terus mendapat dukungan dari orang-orang Pak Irwan. Dia semakin bersemangat dan akan berusaha untuk memenangkan lomba ini.
Beberapa saat kemudian letusan pertanda pertandingan dimulai kembali terdengar. Jaka dengan lihainya mengendalikan sapi karapan. Seperti dugaan Jaka sapi-sapi lawannya tidak bisa diremehkan. Tiga pasang sapi yang akan memperebutkan juara satu, dua dan tiga itu bertanding dengan seimbang. Ketiganya tampak beriringan, hanya berjarak beberapa meter saja. Sapi yang dikendalikan Jaka berada di urutan paling depan ketika sepasang sapi lainnya tiba-tiba menyalip dan menyenggol sapi dalam kendali Jaka. Kedua pasang sapi itu tampak oleng. Jaka berusaha untuk tetap seimbang dan melekatkan kedua kakinya pada kaleles. Namun usaha Jaka gagal. Salah satu kakinya tergelincir. Jaka kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh sementara sapi dalam kendalinya melesat mengejar kedua lawannya.
Suara tepukan dan sorak sorai penonton kembali terdengar. Namun Jaka tidak ingat apa-apa lagi begitu badannya jatuh membentur tanah lapang di dekat garis finish itu. Orang-orang tampak panik. Menggotong tubuh Jaka yang terjatuh dan segera membawanya ke Rumah Sakit.
Jaka baru sadar ketika beberapa orang mengerumuniya di dalam ruangan yang serba putih itu. Di dekatnya tampak ibunya menangis tersedu-sedu, mengkhawatirkan nasib Jaka. Jaka meringis begitu menggerakkan kakinya. Kecelakaan di lapangan itu telah membuat salah satu kakinya cedera meskipun tidak terlalu parah.
“Jaka, kauharus sembuh, Cong. Kalau kamu sembuh, kamu nggak usah bekerja seperti ini lagi. Emak tidak mau terjadi apa-apa sama kamu…” Jaka melihat Emaknya yang sangat disayanginya itu tersedu di tepi bangsal tempatnya berbaring. Di dekat Emak Pak Irwan melihatnya dengan rasa kasihan selain bangga dengan keberhasilan Jaka.
“Maafkan saya, Pak Irwan. Saya tidak bisa mengendalikan dengan baik. Saya gagal membawa sapi bapak menjadi juara dalam pertandingan tadi.” Jaka menyesali kegagalannya. Ia merasa telah gagal membantu meringankan beban Emak dalam membiayai sekolahnya.
“Kamu tidak gagal, Jaka. Walaupun kamu tadi terjatuh, tapi sapi yang kamu kendalikan berhasil sampai duluan di garis finish.” Jaka masih tidak percaya mendengar berita itu. “Dan bapak punya kejutan buat kamu dan Emak kamu…”
“Kejutan apa, Pak?” Baik Jaka maupun Emak tampak penasaran dengan kata-kata Pak Irwan.
“Kamu berhak mendapat uang Satu Juta Rupiah sebagai honor dari pekerjaan kamu ini. Ditambah hadiah utama dalam pertandingan ini yaitu sebuah sepeda motor. Semua menjadi milik kamu karena kamu telah menorehkan prestasi baru untuk sapi karapan milik saya.”
Jaka dan Emak saling pandang. Masih tidak percaya dengan “anugerah” itu. Kalimat syukur mengalir deras dari bibir perempuan setengah baya itu. Usaha Jaka ternyata tidak tidak sia-sia. Niatnya untuk membantu Emak membiayai sekolahnya sekarang tercapai. Ia berjanji akan serius belajar dan berharap apa yang didapatkannya sekarang menjadi “cambuk semangat” sekaligus jalan untuk menggapai cita-citanya kelak.