-->

Sejarah Cakraningrat ke VII (Raden Moh. Ismail)

Sepeninggal Panembahan Cakraadiningrat VII (Raden Moh. Yusuf, maka putra pertama beliau Raden Moh. 

Ismail naik Tahta Kerajaan dengan Gelar Panembahan Cakraadiningrat ke VIII pada tahun 1862 - 1882. Telah dipaparkan sebelumnya dari sudut pandang hukum adat Raden Moh. 

Ismail tidak memenuhi syarat untuk menduduki Tahta Kerajaan karena alasan yang bersifat Fisik antara lain, beliau mengalami gangguan pendengaran dan suara. 

Selanjutnya, putra kedua Panembahan Cakraadiningrat ke VII / Raden Moh. Yusuf yang benama Raden Abdul Jumali telah dipersiapkan sebagai Pengganti Raja sewaktu-waktu dengan Gelar Pangeran Adipati Pakuningrat. VIII. 

Akibat campur tangan Penjajah Belanda waktu itu, sudut pandang hukum adat ini diabaikan dengan tetap mendudukkan Raden Moh. Ismail sebagai pengganti Panembalaan Yusuf Cakra Adiningrat ke VII didampingi orang kedua Raden Demang Mayangkoro. 

Panembahan Cakraadiningrat ke VIII (Raden Moh. Ismail) tahun 1862 - 1882

Cakraadiningrat ke VII
Cakraadiningrat ke VII

Akibatnya, terjadi Perang Dingin dalam Lingkungan Kerajaan Bangkalan yang memang hal ini sangat diharapkan oleh Penjajah Belanda (Politik Devide Et Empera) memecah belah Rasa Persatuan dan Kesatuan. 

Panembahan Cakraadiningrat ke VIII didampingi seorang Permaisuri yaitu Raden Ayu Suleha putri ke-3 dari Pangeran Sosro Adiningrat (Pangeran Sasrah) yang Purinya ada di Daerah Sak-sak, sekarang Jalan Letnan Ramli Bangkalan.

Panembahan Cakraadiningrat ke VIII atau Raden Moh. Ismail tidak mempunyai seorang putra sebagai Penerus Tahta Kerajaan Bangkalan, putri beliau ada 3 (Tiga) orang : 

1.  Raden Ayu Atmojoningrat

2.  Raden Ayu Suring Alogo

3.  Raden Ayu Ario Adinegoro 

Selama pemerintahan Beliau terjadi tiga kali Pemerintah Belanda meminta bantuan Beliau didalam perang Atjeh (1e, 2e dan 3e Atjeh Expeditie). 

Panembahan Tjokroadiningrat VIII mengirimkan Barisan Mangkalan dibawah pimpinan Komando Raden Demang Majangkoro yang merupakan keturunan Panembahan Tjakraningrat II (Siding Kamal). 

Didalam perang tersebut, nampak sekali kekaguman Belanda kepada Barisan Bangkalan tersebut dalam melaksanakan tugasnya. 

Setelah perang Atjeh pertama, Panembahan Tjokroadiningrat VIII mendalat gelar Kolonel (tahun 1874) dan diangkat pula “Ridder in de Orde van de Nederlandsche Leeuw”. 

Raden Demang Majangkoro juga diangkat sebagai “Luitenan-Kolonel” dan “Militaire Willemsorde de Klas”.

Pada pertempuran-pertempuran di Mukim ke VI dan ke IV pada tanggal 26 Desember 1875 hingga 25 Januari 1876 dan pertempuran-pertempuran di Mukim IX, ke XX dan ke VI (Bulan Pembruari 1876) Barisan Bangkalan mendapat tugas yang berat. 

Pada waktu perang Atjeh ke Tiga kalinya Pangeran Prawironegoro, Saudara Ayah dari Panembahan, ikut serta sebagai Majoor diperbantukan kepada Generale Staf dari Generaal van Zwiten. 

Dan juga Luitenant Raden Ario Setjonegoro, Saudara Muda dari Panembahan ikut serta. Maka mereka berdua lantaran kepercayaannya diganjar dengan pangkat “Militaire Willemsorde de Klas”.

Baca juga : Sejarah Lengkap Cakraningrat 

Majoor Pangeran Prawironegoro


Akhimya, pada tanggal 3 Syawal 1811 Tahun Jawa atau 1882 M, Raden Moh. Ismail atau Panembahan Cakraadiningrat ke VIII, berpulang kerahmatullah, Jenasahnya dikebumikan berdampingan dengan Pasarean Sultan Raden Abdul Kadirun di belakang Masjid Agung Bangkalan (Congkop). 

Pada Nisan beliau tertulis Prasasti berbahasa "Indonesia Tempo Dulu" sebagai berikut : "Bahoewa ini Sastra Boewat Soewatoe Perhingetan Koetika Sri Padoeka Toean Panembahan Tjakra Adie Nengrat Iang ka 8 Kolonel Ridder Den Orde Darie Nederlansche Letzuw Die Kraton Negrie Madoera. 

Waktoe maninggal doenya pada malem Kamis Djam 5 3/4 Amper Pagie Tanggal 2 Boelan Sawal Die Dalem Taoen Niep 1811 Oetawa Hari 17 Boelan Agustus 1882 Kemis (Legi)". 

Permaisuri beliau, Raden Ayu Suleha (Ratu Maduratna wafat pada tanggal 06 Juli 1910), Pada Nisan beliau tertulis H. H. Ratoe Madoeratna 19 6/7 10. 

Didepan telah diuraikan bahwa Panembahan Cakraadiningrat ke VIII (Raden Moh. Ismail) tidak mempunyai putra lelaki sebagai penerus Tahta Kerajaan Madura Barat, 

Sementara Putra Mahkota yang dipersiapkan (Adik beliau R. Abdul Jumali atau Pangeran Adipati Pakuningrat atau Raden Ario Seconegoro VI telah wafat 3 Tahun (Tahun 1879), sebelum Panembahan Cakra Adiningrat ke VIII Raden Moh. Ismail, meninggal dunia.


Inilah kemudian yang dijadikan dasar pertimbangan oleh Pemerintah Penjajah Belanda (Secara politis Pemerintah Penjajah Belanda telah menerapkan strategi licik De Vide Et Impera mengadu domba, menyuburkan fitnah dalam Lingkungan Keluarga Kerajaan Madura Barat Bangkalan).

Dalam Sejarah tutur, disebutkan Raden Abdul Jumali atau Pangeran Adipati Pakuningrat yang bertahan untuk melawan keputusan Pemerintah Penjajah Belanda supaya Kerajaan Madura Barat di Bangkalan tidak dibubarkan akhirnya kandas, 

Karena beliau disiasati ikut dalam Musyawarah Agung Pemerintah Kerajaan Madura Barat Bangkalan dan hidangan minuman beliau dibubuhi racun sehingga beliau sakit sampai wafat. 

Akibatnya, Sistem Pemerintah Kerajaan Madura Barat di Bangkalan dibubarkan dan menjadi Perintahan langsung di bawah Pemerintahan Penjajah Belanda 3 Tahun sesudah Panembahan Ismail Cakraadiningrat ke VIII meninggal dunia pada Tahun 1882. 

Pemerintah Penjajah Belanda mengeluarkan Keputusan Gubemur Jendral Hindia Belanda No. 2 Tanggal 22 Agustus 1885. 

Jadi jelas Kerajaan Madura Barat di Bangkalan dan bahkan Kerajaan-Kerajaan seperti Sumenep, Pamekasan dan Sampang bukan membubarkan diri melainkan dibubarkan oleh Pemerintah Belanda dengan tujuan ingin menguasai dan menjajah Madura pada waktu itu.

Pangeran Adipati Pakuningrat


Urut-urutan Pembubaran Keraton di Madura oleh Penjajah Belanda : 

1.  Keraton Sumenep 18 Oktober 1883, No. 5/c

2.  Keraton Pamekasan 02 Agustus 1859, No. 1/a

3.  Keraton Sarnpang Tarai 22 Agustus 1885 No . 2/c 

Oleh karena itu Pemerintahan Kerajaan Madura Bangkalan setelah itu dihapuskan oleh Pemerintah Belanda dan dipemerintahannya sendiri (rechstreeks bestuur) dengan mengangkat seorang Bupati biasa yang disebut Bupati Pertama (de Regent).

Buku : Sejarah Tjaranya Pemerintahan Daerah di Kepulauan Madura Dengan Hubungannya. 

Oleh : R. Zainal Fattah atau R. Tumenggung Ario Notoadikusumo (Bupati Pamekasan)