-->

Akhir Riwayat Cakraningrat IV (Bupati Madura)

Dalam uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa, VOC mensyaratkan sunan untuk bersedia memperbaharui kontrak atau perjanjian agar rekonsiliasi dapa dilakukan dengan pihak Belanda. Waktu itu sunan tidak dapat berbuat apa-apa karena tahtany sedang terancam. Sementara itu kekuatan Cina dan kaum pemberontak jawa yang didukung Patih Natakusuma mengangkat Mas Grendi sebagai sunan baru. 

Meskipun Madura adalah daerah bawahan Mataram yang memiliki kekuatan militer besar akan tetpai sunan tidak mampu menggunakannya karena senatiasa terlibat konflik dengan Cakraningrat IV. Eksalasi ketegangan antara kekuatan pro dan kontra VOC semakin keras dan mengkristal ketika kekuatan anti VOC menyerang benteng di Kartasura pada pertengahan 1741. Dengan jatuhnya Kartasura ke tangan Cina maka peluang VOC untuk menjalankan kepentingan- kepentingan di Jawa pun terbuak lebar. 


Meskipun kondisi yang sebenarnya tidak menguntungkan, namun VOC memanfaatkan kekuatan Cakraningrat IV untuk mencapai tujuannya dan memberikan jasa dengan mengembalikan sunan ke tahtanya. Setelah sunan kembali ke atas tahtanya pada akhir Desember 1742, hampir setahun kemudian pada 11 November 1743 baru dapat ditanda tangani kontrak baru. 

Dalam kontrak 1743, ditegaskan berdasarkan Artikel 10, sunan menempatkan VOC sebagai penguasa tertinggi. Pada Artikel 11 dinyatakan bahwa, untuk (waktu-waktu) selanjutnya VOC berkedudukan lebih tinggi daripada sunan, baik di Kartasura maupun Semarang. 

Pihak VOC mengakui Cakraningrta IV sebagai salah satu sahabat setia karena mambantu Belanda pada perang melwan kekuatan Cina dan pemberonta Kartasura pada 1742. Namun VOC berhasil menduduki sebagian wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini sangat mengecewakan Cakraningrat IV karena ambisinya untuk meluaskan kekuasaan di wilayah tertentu di Jawa tidak mendapatkan perhatian pihak VOC, hal ini menyebabkan pembangkangan oleh Cakraningrat IV. 

Namun, setelah kaum pemeberontak Cina dan pasukan Sunan Kuning dapat ditumpas, serta perdamaina antara sunan dan VOC telah tercapai, Cakraningrat IV seperti hanya mengalami pergantian majikan. Pakubawana II adalah tokoh yang lemah, dia tidak berani bertindak tegas terhadap musuh-musuhnya secara langsung, termasuk kepada Cakraningrat IV. Akibatnya, sunan dimanfaatkan oleh Cakraningrat IV untuk memperjuangkan cita-citanya. 

Untuk menghindari perselisihan serta konflik dengan Cakraningrat IV, pihak VOC pada 8 Februari 1744 hingga 8 Maret 1744 melakukan perundingan sebagai upaya penyelesaian dan mencegah putusnya persahabatan antara kedua pihak. Dalam pembicaraan tersebut dilaporkan bahwa, pihak VOC mengingatkan Cakraningrat IV agar menghentika ilusinya untuk menguasai wilayah di Jawa Timur. 

Sebaliknya, dalam perundingan tersebut Cakraningrat IV tetap berpegang teguh kepada janji- janji dari para pejabat VOC. Namun posisi Cakraningrat IV tidak menguntungkan lalu Cakraningrat IV kemudian menurunkan tuntutannya. Ia hanya menuntut daerah Surabaya, Gresik, dan Tuban dengan penguasaan yang akan diserahkan kepadanya atau putra- putranya. 

Dalam surat tertanggal 31 Desember 1744, Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff (1743-1750) melaporkan kepada Bewindhebbers (pemegang kuasa) VOC De Heeren XVII di Belanda bahwa ia sedang mengahadapi penguasa Madura yang tidak mengenal terima kasih, despotik, keras kepal, dan penuh ilusi, dan pada akhirnya pada tanggal 12 Februari 1745 memutuskan untuk memecat Cakraningrat IV dari jabatannya sebagai bupati di Madura. 

Baca juga : Sejarah Cakraningrat I 

Cakraningrat IV tidak tinggal diam. Penguasa Madura yang telah dipecat oleh VOC itu segera megerahkan pasukannya di pelabagi daerah yang diduduki seperti Pati, Grobogan dan wilayah di sepanjang pesisir utara Jawa Timur dari Rembang hingga Gresik. Cakraningrat IV mengirimkan Tumenggung Sasradiningrat dan Mas Dewa Raga sebagai pemimpin pasukan untuk merebut kekuasaan di kota Gresik. 

Setelah mengalahkan pasukan Madura dalam pertempuran di sekitar Giri, pada 12 Juni 1745 Sterrenberg berhasil merebut kembali pelabuhan Gresik yang sangat penting itu. Menyusul jatuhnya pertahanan Madura di Mengare, Gresik dapat direbut kembali oleh VOC, Puspanegara diangkat kembali sebagi bupati kota itu. 

Sementara Gusti Dewa Raga ikut mempertahankan kota Gresik, pasukan gabungan VOC-Jawa dari Juwana dan Lasem pada 30 Maret 1745 berhasil membebaskan wilayah utara Jawa Timur seperti Pati dan Grobogan dari kekuasaan Cakraningrat IV. Akan tetapi tidak lama kemudian Juwana dan Lasem dapat direbut kembali oleh pasukan Madura. 

Jatuhnya Mangare ke tangan VOC telah memotong jaringan kekuatan Madura yang berada di Jawa dan kekuatan induknya di Madura. Dalam kondisi semakin terdesak Cakraningrat IV bertindak cerdas dengan  menghindarkan diri dari pemusnahan terhadap kekuasaaan keturunnanya. 

Dari arah Madura timur atau Sumenep pasukan VOC di bawah pimpinan Mayor van de Poll mendapat bantuan pasukan pimpinan Kaptem Rhener sehingga jalan bagi VOC ke arah Pamekasan pun terbuka sekaligus memutus jalur komunikasi antara kekuatan Madura dengan daerah Jawa Timur. 

Para panglima pasukan Madura telah membulatkan diri untuk bertempur samapi titik darah penghabisan sebagai usaha balas budi kepada Cakraningrat IV sebagai tokoh yang telah mengangkat derajat. Sasradiningrat dan Ranadiningrat mengikuti saran senapatinya yang telah gurgu dan mendesak ayahnya untuk menyelamatkan diri. 

Akhirnya Cakraningrat IV bersama Sasradiningrat, Ranadiningrat, Raden Ayu Roman, Raden Ayu Sugih dan Raden Ayu Dhemes meloloskan diri dari Sembilangan menuju Arosbaya dengat tujuan mengungsi ke Banjarmasin. Menurut sumber-sumber VOC pertahanan Cakraningrat IV di Arosbaya sangat kuat, pasukan VOC hampir tidak dapat merebutnya. 

Cakraningrat IV berlindung (mungkin dititipkan atau disembunyikan oleh Sultan Banjar), di kapal Inggris Onslow yang dinahkodai ole kapten Congreave. Namun akhirnya diketahui oleh orang- orang Belanda yang sedang berselisih dengan penguasa Banjar perihal monopoli perdagangan rempah-rempah. 

Maka berakhirlah riwayat tokoh Madura yang telah menjadi pemain utama dalam hubungan antara pusat kerajaan Mataram dan daerah- daerahnya, khususnya antara Kerato Kartasura dan Madura (1719- 1745). Konflik antara Kartasura dan Madura yang memakan waktu selama hampir 30 tahun itu berakhir dengan kerugian yang sama- sama mereka alami. Cakraningrat yang IV yang ambisius itu kemudian dibuang ke Tanjung Harapan (Kaap dengan Goede Hoop) di Afrika Selatan. 

Dua orang putranya yaitu Sasradiningrat dan Ranadiningrat dibuang ke Ceilon. Dalam konteks penulisan sejarah Indonesia, kehidupan Cakraningrat IV bisa disebut berakhir tragis karena Cakraningrat IV adalah tokoh yang disegani, angggota keluarga istana yang berpengaruh, ditaati oleh kawula-nya, ambisius dan kaya kemudian jatuh miskin, menjadi buronan, dihujat dan dihukum serta dihinakan oleh para pejabat VOC. 

Bangsa Indonesia sendiri kurang memperhatikan atau mengharagai Cakraningrat IV layaknya seorang pejuang. Buktinya, belum ada yang mengungkapkan dan menyimpulkan bahwa Cakraningrat IV adalah pejuang atau pahlawan. Cakaraningrat IV bernasib tragis karena kesalahan- kesalahan yang dilakukannya. 

Kesalahan- kesalahan itu adalah : 

  1. Perjuangan Cakraningrat IV bersifat ambisius dan tidak memilki tujuan yang jelas. 
  2. Cakraningrat IV tidak mampu menggunakan momentum perebutan ibu kota dan Keraton Kartasura sebagai peluang emas guna mencapai ambisinya. 

Lebih dari itu, dalam sejarah Indonesia Cakraningrat IV hanya dianggap sebagai tokoh yang menjadi kaki tangan Belanda. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, kiranya tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Cakraningrat IV adalah tokoh yang berusaha keras mewujudkan cita-cita atau ambisinya dengan memanfaatkan segala macam peluang, dan sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi. 

Namun, karena Cakraningrat IV tidak memiliki pengalaman berdiplomasi maka ia terperangkap oleh janji- janji palsu para pejabat VOC. Akhirnya penguasa Madura itu bertindak oportunis dan menjadi korban ambisinya sendiri.